PENGATURAN
PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT
DI INDONESIA
Oleh :
KAYYAN MOMPALA
13051101018
PROGRAM
STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS
PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS
SAM RATULANGI
MANADO
2014
KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan
rahmat-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Melalui makalah ini, dapat
membantu pembaca dalam memahami peraturan-peraturan mengenai pengelolaan wilaya
pesisir dan laut.
Dalam pembuatan makalah ini, saya memperolehnya dari
beberapa sumber dan pemikiran saya yang saya gabungkan menjadi satu makalah
yang semoga dapat bermanfaat bagi pembaca.
Saya menyadari akan kelemahan dan kekurangan dari
makalah ini. Oleh sebab itu, dibutuhkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun, agar makalah ini akan semakin baik sajiannya. Semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi semua pembaca.
Maret, 2014
Penulis
DAFTAR ISI
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengaturan pengelolaan wilayah pesisir dan laut (Integrated
coastal management) berdasarkan pada Chapter 17 Agenda 21, Deklarasi
Johannesburg 2002, Plan of Implementation of the World Summit on Sustainable
Development, 2002, dan Bali Plan of Action 2005. Integrated
coastal management merupakan pedoman dalam pengaturan pemanfaatan
dan pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut dengan memperhatikan
lingkungan. Implementasi integrated coastal management dilakukan sebagai
upaya untuk mengatasi konflik dalam pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir
dan laut, dan tumpang tindih kewenangan serta benturan kepentingan antar sektor.
Integrated coastal management berisi
prinsip-prinsip dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut sebagaimana di atur
dalam Agenda 21 Chapter 17 Program (a), Pemerintah Indonesia pada tahun 1995
telah menyusun Agenda 21-Indonesia, dalam Bab 18 tentang Pengelolaan Terpadu
Daerah Pesisir dan Laut. Disebutkan bahwa orientasi pembangunan dan pengelolaan
wilayah pesisir dan laut menjadi prioritas pengembangan, khususnya yang
mencakup aspek keterpaduan dan kewenangan kelembagaannya, sehingga diharapkan
sumberdaya yang terdapat di kawasan ini dapat menjadi produk unggulan dalam
pembangunan bangsa Indonesia di abad mendatang. Perbedaan pemahaman pengaturan
tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Indonesia memunculkan banyak
konflik diantara para pengguna wilayah tersebut dan daerah-daerah kabupaten / kota
yang berbatasan. Kemajemukan peraturan perundanganundangan sangat potensial
menimbulkan terjadinya konflik norma. Upaya melakukan integrasi terhadap
pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir adalah melalui sinkronisasi pengaturan
perundangan-undangan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut.
B. Pengertian Wilayah Pesisir dan Laut
Dalam Undang-undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
(selanjutnya disebut PWP-PK) Pasal 1 Ayat (2), disebutkan bahwa: ”Wilayah
pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut”.
Selanjutnya, pada Pasal 2 Undang-undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK disebutkan bahwa:
”Ruang lingkup pengaturan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat
dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat
mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas)
mil laut di ukur dari garis pantai”.
Ruang lingkup Undang-undang Nomor 27 Tahun
2007 tentang PWP-PK meliputi daerah pertemuan antara pengaruh perairan dan
daratan, ke arah daratan mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah
perairan laut sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah
laut lepas dan / atau ke arah perairan kepulauan.
Sementara itu, menurut
UNCLOS 1982, pengertian / batasan wilayah pesisir tidak diatur, tetapi UNCLOS
1982, membagi laut ke dalam zona-zona yaitu:
a.
Wilayah laut yang berada di bawah yurisdiksi suatu Negara adalah :
1.
Perairan Pedalaman (Internal Waters)
2.
Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters)
3.
Laut Wilayah (Territorial Sea)
4.
Zona Tambahan (Contiguous Zone)
5.
Zona
Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone)
6.
Landas Kontinen (Continental Shelf))
b.
Wilayah laut yang berada di luar yurisdiksi suatu Negara adalah:
1.
Laut Lepas (High Seas)
2.
Dasar
Laut Dalam / kawasan (Area / Deep Sea Bed)
Penentuan batas wilayah pesisir dan laut tidak dapat
disamakan antara ketentuan dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK dengan
UNCLOS 1982. UU Nomor 27 Tahun 2007 berlaku pada batas wilayah administrasi
kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai,
sedangkan UNCLOS 1982 tidak menentukan batas wilayah pesisir maupun cara
pengukurannya.
Karakteristik, pengertian dan batasan wilayah pesisir
di setiap negara berbedabeda,
tergantung
kondisi geografisnya. Pada umumnya karakteristik umum wilayah pesisir dan laut
adalah sebagai berikut :
1.
Laut merupakan sumber dari “common property resources” (sumberdaya milik
bersama), sehingga memiliki fungsi publik / kepentingan umum;
2.
Laut merupakan “open access”, memungkinkan siapapun untuk memanfaatkan
ruang laut untuk berbagai kepentingan;
3.
Laut bersifat “fluida”, dimana sumberdaya (biota laut) dan dinamika hydrooceanography
tidak dapat disekat / dikapling;
4.
Pesisir merupakan kawasan yang strategis karena memiliki topografi yang relatif
mudah dikembangkan dan memiliki akses yang sangat baik (dengan memanfaatkan
laut sebagai “prasarana” pergerakan);
5.
Pesisir merupakan kawasan yang kaya akan sumberdaya alam, baik yang terdapat di
ruang daratan maupun ruang lautan, yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
manusia.
C. Tujuan
Untuk memperluas wawasan pembaca serta dapat
mengerti mengenai peraturan-peraturan pemerintah tentang pengelolaan wilaya pesisir dan laut.
PEMBAHASAN
A. Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut
Implementasi pengaturan pengelolaan wilayah pesisir
dan laut dalam hukum nasional, dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu pertama ketentuan
perundang-undangan nasional yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir dan laut
yang bersifat konkrit dan mengikat (hard law), atau ketentuan yang
dihasilkan dari perjanjian internasional (treaty, convention, atau
agreement) baik yang bersifat bilateral, multilateral, global, regional maupun
sub-regional bagi negara-negara yang menyatakan diri siap terikat (express
to be bound) dan memberlakukannya di wilayahnya.6 Kedua,
ketentuan-ketentuan yang berbentuk soft law, yaitu ketentuan-ketentuan
yang memuat prinsip-prinsip umum (general principles), bersifat
pernyataan sikap atau komitmen moral dan tidak mengikat secara yuridis. Daya
ikatnya tergantung kepada kesediaan negara-negara untuk menerimanya sebagai
hukum nasional, misalnya dalam bentuk deklarasi, piagam atau protokol.
Beberapa komitmen (soft law) yang mendukung
pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan laut dengan mengacu pada integrated
coastal management adalah:
a.
Agenda 21
Indonesia
Indonesia telah menerima Agenda 21 Global sebagai
persetujuan tidak mengikat (non binding agreement) hasil konferensi
UNCED 1992 dan menjadikannya sebagai pedoman dasar bagi penyelenggaraan dan
penyusunan kebijakan lingkungan dan pembangunan. Ketentuan Bab 18 dalam Agenda
21-Indonesia tentang pengelolaan wilayah pesisir menjadi sangat penting karena
kondisi lingkungan wilayah pesisir dan laut membutuhkan penanganan khusus.
Penanganan khusus pada wilayah pesisir dan laut mencakup aspek keterpaduan dan
kewenangan kelembagaan, sehingga diharapkan sumberdaya yang terdapat di kawasan
ini dapat menjadi produk unggulan dalam pembangunan bangsa Indonesia di masa
mendatang.
b.
Jakarta
Mandate, 1995
Agenda 21 Chapter 17 telah menghasilkan suatu
program yang dikenal dengan ”Jakarta Mandate on the Conservation and
Sustainable Use of Marine and Coastal Biological Diversity” pada
tahun 1995. Keanekaragaman sumberdaya alam di pesisir, baik di negara maju
maupun berkembang mengalami over-exploitation, sehingga diperlukan suatu
program kerja yang terintegrasi dalam pengelolaannya dengan prioritas aktivitas
pada 5 elemen, yaitu:
1. implementation of
integrated marine and coastal area management;
2. marine and coastal
living resources;
3. marine and coastal
protected areas;
4. mariculture; and
5. alien species and
genotype.
Jakarta Mandate on the Conservation and
Sustainable Use of Marine and Coastal Biological Diversity, elemen
1 tentang Implementation of integrated marine and coastal area management merupakan
upaya yang harus dilakukan oleh negara-negara dalam pengelolaan wilayah
pesisir dan laut, seperti tercantum dalam Agenda 21 Chapter 17 program
(a).
c.
Deklarasi
Bunaken, 1998
Deklarasi Bunaken dideklarasikan oleh Presiden RI BJ
Habibie pada 26 September 1998 bertepatan dengan pencanangan tahun 1998 sebagai
”Tahun Bahari Indonesia”. Deklarasi ini merupakan salah satu tonggak pembangunan
kelautan Indonesia dan merupakan upaya untuk memanfaatkan kembali laut, setelah
pembangunan yang dilaksanakan pada era sebelumnya lebih berorientasi darat (land-based
development). Diharapkan dari deklarasi ini semua jajaran pemerintah dan
masyarakat memberikan perhatian untuk pengembangan, pemanfaatan, dan
pemeliharaan potensi kelautan Indonesia.
B. Perangkat Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut
a.
Undang-undang
Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law
of the Sea (UNCLOS), 1982
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations
Convention on the Law of the Sea) 1982, disahkan dengan Undang-Undang Nomor
17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982. UNCLOS 1982 tidak mengatur
secara khusus dalam pasal-pasal nya tentang pengelolaan wilayah pesisir
dan laut. Tetapi tersirat bahwa sumber kekayaan yang ada di laut
memerlukan pengelolaan yang baik sesuai dengan prinsipprinsip pembangunan
berkelanjutan, tanpa merusak lingkungan laut, sehingga dapat digunakan
untuk kemakmuran umat manusia. Pengaturan tentang pentingnya perlindungan
dan pelestarian lingkungan laut diatur dalam UNCLOS 1982 Part XII tentang
Protection and Preservation of the Marine Environment.
b.
Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan
United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982, membawa
konsekuensi kepada NKRI untuk memperbarui ketentuan tentang Perairan
Indonesia seperti diatur dalam Undang-undang Nomor 4/Prp/1960 tentang Perairan
Indonesia dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia dan disesuaikan dengan perkembangan rezim baru negara
kepulauan sebagaimana di muat dalam Bab IV UNCLOS 1982.
Pengaturan khusus tentang pengelolaan wilayah
pesisir dan laut tidak dijelaskan secara terinci, tetapi hanya di atur tersirat
dalam Bab IV tentang Pemanfaatan, Pengelolaan, Perlindungan dan Pelestarian
Lingkungan Perairan Indonesia. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip sustainable
development dalam pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dan laut. Dalam
Pasal 23 ayat (1) disebutkan bahwa:
“Pemanfaatan,
pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia
dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku dan
hukum internasional”.
Sebagai
upaya untuk meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam di perairan Indonesia,
dijelaskan dalam Pasal 23 ayat (3), bahwa:
“Apabila
diperlukan untuk meningkatkan pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan
pelestarian lingkungan perairan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (10)
dapat dibentuk suatu badan koordinasi yang ditetapkan dengan Keputusan
Presiden.”
c.
Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional
2005-2025
Pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan
merupakan bagian dari rencana pembangunan yang akan dilakukan oleh pemerintah
sesuai RPJP Nasional Tahun 2005- 2025, tertuang dalam Bab II – huruf I yang
mengatur mengenai Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup.8 Dalam Bab II-huruf I
dinyatakan bahwa sumber daya alam dan lingkungan hidup memiliki peran ganda,
yaitu sebagai modal pembangunan dan sekaligus sebagai penopang sistem
kehidupan. Adapun jasa-jasa lingkungan meliputi keanekaragaman hayati,
penyerapan karbon, pengaturan secara alamiah, keindahan alam, dan udara bersih
merupakan penopang kehidupan manusia.
Arah pembangunan untuk mengembangkan potensi sumber
daya kelautan menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP Nasional
adalah pendayagunaan dan pengawasan wilayah laut yang sangat luas. Arah
pemanfaatannya harus dilakukan melalui pendekatan multisektor, integratif, dan
komprehensif agar dapat meminimalkan konflik dan tetap menjaga kelestariannya.
Mengingat kompleksnya permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya laut, pesisir,
dan pulau-pulau kecil, pendekatan keterpaduan dalam kebijakan dan perencanaan
menjadi prasyarat utama dalam menjamin keberlanjutan proses ekonomi, sosial,
dan lingkungan sesuai dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam integrated
coastal management .
d.
Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut
belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah.
Hal ini dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan tentang pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan laut selama ini lebih berorientasi kepada eksploitasi
sumberdaya pesisir dan laut tanpa memperhatikan kelestarian sumberdayanya, dan
belum mampu untuk mengeliminasi faktor-faktor penyebab kerusakan lingkungan.
Seperti disebutkan dalam Penjelasan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
PWP-PK, bahwa :
“Norma-norma
pengelolaan wilayah pesisir disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan,
pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan, dengan memperhatikan norma-norma
yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.”
Sebagai negara hukum, pelaksanaan pengembangan
sistem pengelolaan wilayah pesisir dan laut sebagai bagian dari pembangunan
berkelanjutan harus sesuai dengan norma diberi dasar hukum yang jelas, tegas,
dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan wilayah
pesisir.
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK,
dalam Pasal 3 tentang Asas dan Tujuan, menyatakan bahwa:
“Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berasaskan:
(a)
keberlanjutan; (b) konsistensi; (c) keterpaduan; (d) kepastian hukum; (e)
kemitraan; (f) pemerataan; (g) peran serta masyarakat; (h) keterbukaan; (i)
desentralisasi; (j) akuntabilitas; dan (k) keadilan.”
Asas-asas yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 27
Tahun 2007 tentang PWP-PK merupakan implementasi dari prinsip-prinsip dasar
yang terdapat dalam integrated coastal management. Implementasi dari
prinsip-prinsip tersebut dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK
disesuaikan dengan kondisi geografis dan masyarakat di Indonesia. Konsistensi
dan keterpaduan dalam melaksanakan
pengelolaan wilayah pesisir sesuai dengan asas-asas tersebut memerlukan
pengawasan dan evaluasi, baik oleh Pemerintah atau stakeholders.
Terdapat 15 prinsip dasar yang patut diperhatikan
dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang mengacu pada J.R. Clark (1992):
“(1)resources
system; (2) the major integrating force; (3) integrated; (4) focal point; (5)
the boundary of coastal zone; (6) conservation of common property resources;
(7) degradation of conservation ; (8) inclusion all levels of government; (9)
character and dynamic of nature; (10) economic benefits conservation as main
purpose; (11) multipleuses management; (12) multiple-uses utilization; (13)
traditional management; (14) environment impact analysis.”
Sesuai dengan prinsip-prinsip integrated coastal
management, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 27 Tahun
2007 tentang PWP-PK pengelolaan wilayah pesisir melibatkan banyak sektor dan
sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati, sehingga pelaksanaannya
dilakukan dengan cara menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah
dan Pemerintah Daerah, mengikutsertakan peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah.
Perencanaan dalam pengelolaan wilayah pesisir
mengintegrasikan berbagai perencanaan yang disusun oleh berbagai sektor dan
daerah sehingga terjadi keharmonisan dan saling penguatan pemanfaatannya diatur
dalam Bab IV–Perencanaan, dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 15 Undang-undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK. Perencanaan wilayah pesisir terbagi dalam 4
(empat tahapan) yang secara rinci akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Menteri, yaitu (1) rencana strategis; (2) rencana zonasi; (3) rencana pengelolaan;
dan (4) rencana aksi sesuai dengan Prinsip 1 dan 3 dari integrated coastal
management.
Pemanfaatan yang optimal terhadap wilayah pesisir
berdasarkan Prinsip 12 dan 14 dalam integrated coastal management, diimplementasikan
dengan diberikannya Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) oleh Pemerintah
seperti diatur dalam Pasal 16 Ayat (1) Undang-undang Nomor 27 tahun 2007
tentang PWP PK. Dijelaskan dalam Pasal 16 ayat (2) bahwa HP-3 meliputi
pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar
laut.
Menurut Pasal 18 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang PWP-PK, HP-3 diberikan oleh Pemerintah kepada orang perorangan Warga
Negara Indonesia, dan badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia;
atau masyarakat adat. Tetapi ada beberapa daerah yang tidak dapat diberikan
HP-3 yaitu kawasan konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran, kawasan
pelabuhan, dan pantai umum seperti yang diatur dalam Pasal 22 Undang-undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK.
Selanjutnya, dalam Pasal 1 butir 18, HP-3 yang
diberikan oleh Pemerintah adalah bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir
untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan
pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-pulau kecil yang mencakup atas permukaan
laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan
tertentu.
Ketentuan tentang HP-3 tersebut akan menimbulkan
perbedaan penafsiran jika dikaitkan dengan ketentuan tentang hak-hak yang
terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria Bab
II Bagian 1, Pasal 16 Ayat (1) dan Ayat (2).
Menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Agraria, hak atas tanah tidak meliputi pemilikan kekayaan alam yang
terkandung di dalam tubuh bumi di bawahnya.11 Seperti yang dinyatakan dalam
Pasal 8 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, bahwa
pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa
perlu diatur. Pada dasarnya kekayaan sumberdaya alam di wilayah pesisir juga
merupakan bagian dari kekayaan alam yang di maksud dalam Pasal 8 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Tetapi Penjelasan Pasal 8
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok- Pokok Agraria pada dasarnya
menyebutkan bahwa hak-hak atas tanah itu hanya memberi hak atas permukaan bumi,
maka wewenang-wewenang yang bersumber daripadanya tidaklah mengenai
kekayaan-kekayaan alam yang terkandung dalam tubuh bumi, air dan ruang angkasa,
sehingga pengambilan kekayaan tersebut memerlukan pengaturan tersendiri.
Mengacu pada Pasal 8 Undang-undang Nomor 5 tentang
Pokok-Pokok Agraria dan Pasal 16 Ayat (2) Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang tentang PWP-PK , maka HP-3 atas wilayah pesisir, merupakan suatu aturan
baru dalam pengelolaan wilayah pesisir yang belum pernah diatur dalam
Undang-undang Nomor 5 tentang Pokok-Pokok Agraria, maupun Undang-undang
lainnya.
Berbeda dengan hak –hak atas tanah seperti diatur
dalam Pasal 16 Undangundang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria,
maka HP-3 diberikan oleh Pemerintah dalam luasan dan waktu tertentu, seperti
disebutkan dalam Pasal 17 ayat (2).
Partisipasi masyarakat sekitar lokasi dan masyarakat
adat dalam pengelolaan wilayah pesisir diatur dalam Pasal 18 Undang-undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK. Keberadaan masyarakat adat yang telah
memanfaatkan pesisir secara turun temurun, seperti sasi, hak ulayat laut,
terhadap mereka sesuai Undang-undang harus dihormati dan dilindungi seperti
diatur dalam Pasal 61 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK.
Mengacu pada prinsip 5 dan 6 dari integrated
coastal management, untuk menghindari perbedaan penafsiran, pembagian dan
penentuan batas wilayah pesisir terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir
diperlukan upaya integrasi dan koordinasi dengan sektor lain yang terkait,
terutama dalam konservasi sumberdaya alam milik bersama (common property
resources) sehingga tidak menimbulkan konflik dalam pelaksanaannya.
Pembagian zonasi wilayah pesisir sesuai dengan Pasal
2 Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 tentang PWP-PK sangat terkait dengan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu membagi wilayah laut untuk keperluan
administrasi dan batas kewenangan di daerah. Selanjutnya, untuk kegiatan
eksplorasi dan eksploitasi di darat dan dasar laut, maka Undang-undang Nomor 11
Tahun 1967 tentang Pertambangan akan menyesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 27
Tahun 2007 tentang PWP-PK.
Penyelesaian sengketa dalam pemanfaatan sumberdaya
di wilayah pesisir menurut Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK
ditempuh melalui pengadilan dan/atau di luar pengadilan.12 Penyelesaian
sengketa pengelolaan wilayah pesisir melalui pengadilan dimaksudkan untuk
memperoleh putusan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti kerugian,
atau tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh para pihak yang kalah dalam
sengketa. Sedangkan penyelesaian di luar pengadilan dilakukan dengan cara
konsultasi, penilaian ahli, negosiasi, mediasi, konsultasi, arbitrasi atau
melalui adat istiadat/kebiasaan/kearifan lokal.
e.
Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau
Perusakan Laut
Peraturan Pemerintah ini mewajibkan setiap orang
atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan upaya pencegahan
dan bertanggung jawab terhadap perusakan/pencemaran laut. Ketentuan dalam Bab V
tentang Penanggulangan Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, dalam Pasal 15
menetapkan bahwa:
“Setiap
orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau perusakan laut wajib melakukan penanggulangan pencemaran
dan/atau perusakan laut yang diakibatkan oleh kegiatannya.”
Pemanfaatan secara berlebihan terhadap sumberdaya di
wilayah pesisir tanpa mengindahkan kelestarian lingkungan pesisir, akan
mengakibatkan rusaknya ekosistem di wilayah pesisir.
f.
Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota
Kewenangan Pemerintah dalam hal pengelolaan
sumberdaya alam diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38
Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota
(selanjutnya disebut Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007).
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter
dan fiskal nasional, serta agama, sedangkan yang termasuk pengelolaan
sumberdaya wilayah pesisir (Kelautan dan Perikanan) diatur dalam Pasal 2 Ayat
(4) butir cc, dan merupakan bagian dari urusan pemerintahan yang dapat dibagi
bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 mengatur
mengenai Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah terbagi
dalam urusan wajib dan urusan pilihan. Pengelolaan wilayah pesisir dan laut
merupakan bagian dari kelautan dan perikanan, yang dalam ketentuan ini
merupakan bagian dari urusan pilihan yang menjadi kewenangan Pemerintahan
Daerah.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Provinsi dalam pengelolaan wilayah pesisir hanya terbatas pada
fungsi pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota dan untuk menghindari
konflik kepentingan antar Kabupaten/Kota serta kewenangan yang tidak/belum dapat
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
C. Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir di Daerah
Berdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004, bahwa pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran
serta masyarakat.
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Pusat belum pernah memberikan
otonomi yang nyata dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir di wilayah pesisir. Status
Quo kewenangan daerah ini tidak menjadi perhatian Pemerintah, karena
kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dilakukan berdasarkan
pendekatan sektoral yang menguntungkan instansi sektoral dan usaha tertentu.
Pasal 18 ayat (10) Undang-undang No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa:
”Daerah
yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di
wilayah laut.”
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Provinsi dalam pengelolaan wilayah pesisir hanya terbatas pada
fungsi pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota dan untuk menghindari
konflik kepentingan antar Kabupaten/Kota serta kewenangan yang tidak/belum
dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-undang Nomor 27 Tahun
2007 tentang PWPPK, Pemerintah Daerah wajib untuk menyusun semua rencana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk melakukan ekplorasi, eksploitasi,
konservasi dan mengatur sumberdaya alam seperti melakukan penyusunan rencana tata
ruang, mengatur dan menyediakan bantuan kepada Pemerintah Pusat dalam
pelaksanaan undang-undang dan kedaulatan nasional.
Kewenangan Pemerintah Pusat dalam mengelola
sumberdaya di wilayah ini merupakan kewenangan atribusi yang langsung
bersumberkan pada Undang-undang Dasar 1945 Pasal 33, Undang-undang Nomor 5
Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Undang-undang Nomor 1
Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996
tentang Perairan Indonesia, dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang
Pengesahan UNCLOS 1982.
Perluasan kewenangan pengelolaan wilayah pesisir
diberikan kepada Kabupaten/Kota dan Provinsi untuk mengelola sumberdaya laut
dan daratan dalam wilayah hukumnya. Hal ini diperkuat dengan Undang-Undang Nomor
33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah Pasal 6, yaitu:
“Pendapatan
asli daerah bersumber dari: a) Pajak daerah; b) Retribusi daerah; c) hasil
pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan d) lain-lain PAD yang sah.”
Pendapatan asli daerah juga dapat diperoleh dari
dana perimbangan, seperti dijelaskan dalam Pasal 11 tentang dana bagi hasil.
Ayat (1) dari Pasal 11 menyebutkan bahwa dana bagi hasil bersumberkan dari
pajak dan sumber daya alam.
Pembagian kewenangan kepada pemerintah daerah atas
wilayah laut sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, secara yuridis tidak mengubah wilayah perairan Indonesia
sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia. Kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah untuk melaksanakan pengelolaan sumberdaya kelautan
di wilayah kewenangannya disertai dengan kewajiban untuk memelihara kelestarian
lingkungannya.
D. Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
Sebagai salah satu wujud dalam penyusunan kebijakan
kelautan terutama pengelolaan wilayah pesisir dan laut di daerah adalah
penyediaan produk hukum wilayah pesisir dan laut dalam bentuk Peraturan Daerah
dengan menggagas sebuah model yang berbasis masyarakat. Beberapa daerah di
Kalimantan dan Sulawesi yang telah difasilitasi oleh Satuan Kerja Pengelolaan
Sumberdaya Pesisir dan Laut (Marine and Coastal Resources Management
Project /MCRMP), Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau
Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan, telah menghasilkan beberapa Peraturan
Daerah mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan laut.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Implementasi integrated coastal management pada
wilayah pesisir dan laut mengacu kepada Bab XII UNCLOS 1982 dan Agenda
21-Chapter 17 Program (a). Indonesia mengimplementasikan integrated coastal
management dengan menuangkannya dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP-PK).
DAFTAR PUSTAKA
http://journal.lib.unair.ac.id/index.php/YRDK/article/download/574/573
(07 Mei 2014, 15:30:09).
http://bk.menlh.go.id/files/UU_no_27_th_2007.pdf
(11 Maret 2014, 13:48:41).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar