TUGAS
PENGANTAR TEKNOLOGI
AKUAKULTUR
DISUSUN OLEH:
KAYYAN MOMPALA
13051101018

PROGRAM STUDI
MANAJEMEN
SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KALAUTAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2014
online.com
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 45 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa perairan yang berada dalam kedaulatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia serta
laut lepas mengandung sumber daya ikan yang potensial dan sebagai lahan
pembudidayaan ikan merupakan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa yang diamanatkan
kepada bangsa Indonesia yang memiliki falsafah hidup Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan memperhatikan daya dukung yang
ada dan kelestariannya untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat Indonesia;
b.
bahwa pemanfaatan sumber daya ikan belum memberikan peningkatan taraf hidup
yang berkelanjutan dan berkeadilan
melalui pengelolaan perikanan, pengawasan, dan sistem penegakan hukum yang
optimal;
c.
bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan belum sepenuhnya mampu
mengantisipasi perkembangan teknologi dan kebutuhan hukum dalam rangka
pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya ikan;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan
huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan;
Mengingat:
Pasal 20, Pasal 21, dan
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4433) diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan
Pasal 1 angka 11 dan angka 24 diubah, sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksud dengan:
1.
Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi,
pengolahan sampai dengan
pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.
2. Sumber daya ikan adalah potensi semua jenis
ikan.
3. Lingkungan sumber daya ikan adalah perairan
tempat kehidupan sumber daya ikan,
termasuk biota dan faktor
alamiah sekitarnya.
4. Ikan adalah segala jenis organisme yang
seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan.
5. Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh
ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara
apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya.
6. Pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk
memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam
lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk
memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau
mengawetkannya.
7. Pengelolaan perikanan adalah semua upaya,
termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis,
perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan
implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundangundangan di bidang
perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan
untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan
yang telah disepakati.
8.
Konservasi Sumber Daya Ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan
pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk
menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara
dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan.
9. Kapal Perikanan adalah kapal, perahu, atau
alat apung lain yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung
operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan
ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi perikanan.
10.
Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.
11.
Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran
paling besar 5 (lima) gross ton (GT).
12. Pembudi
Daya Ikan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan.
13.
Pembudi Daya-Ikan Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan
ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
14.
Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
15.
Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
16.
Surat Izin Usaha Perikanan, yang selanjutnya disebut SIUP, adalah izin tertulis
yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan usaha perikanan dengan
menggunakan sarana produksi yang tercantum dalam izin tersebut.
17.
Surat Izin Penangkapan Ikan, yang selanjutnya disebut SIPI, adalah izin
tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan
ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP.
18.
Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan, yang selanjutnya disebut SIKPI, adalah izin
tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan
pengangkutan ikan.
19.
Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut
yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.
20.
Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan
dan perairan pedalamannya.
21.
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, yang selanjutnya disebut ZEEI, adalah jalur
di luar dan berbatasan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan
berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi
dasar laut, tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua
ratus) mil laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia.
22.
Laut Lepas adalah bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEEI, laut
teritorial Indonesia, perairan kepulauan Indonesia, dan perairan pedalaman
Indonesia.
23.
Pelabuhan Perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di
sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan
kegiatan sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai tempat kapal perikanan
bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan
fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.
24.
Menteri adalah menteri yang membidangi urusan perikanan.
25.
Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
26.
Pemerintah Daerah adalah pemerintah provinsi dan/atau pemerintah
kabupaten/kota.
2.
Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
2
Pengelolaan perikanan dilakukan
berdasarkan asas:
a. manfaat;
b. keadilan;
c. kebersamaan;
d. kemitraan;
e. kemandirian;
f. pemerataan;
g. keterpaduan;
h. keterbukaan;
i. efisiensi;
j. kelestarian; dan
k. pembangunan yang
berkelanjutan.
3.
Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga Pasal 7 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7
(1)
Dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri menetapkan:
a. rencana pengelolaan perikanan;
b. potensi dan alokasi sumber daya
ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara
Republik Indonesia;
c.
jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia;
d.
potensi dan alokasi lahan pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara
Republik Indonesia;
e.
potensi dan alokasi induk serta benih ikan tertentu di wilayah pengelolaan perikanan
Negara Republik Indonesia;
f. jenis,
jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
g. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat
bantu penangkapan ikan;
h. daerah, jalur, dan waktu atau musim
penangkapan ikan;
i. persyaratan atau standar prosedur operasional
penangkapan ikan;
j. pelabuhan perikanan;
k. sistem pemantauan kapal perikanan;
l. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;
m. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta
penangkapan ikan berbasis budi
daya;
n. pembudidayaan ikan dan perlindungannya;
o. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber
daya ikan serta lingkungannya;
p. rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan
serta lingkungannya;
q. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang
boleh ditangkap;
r. kawasan konservasi perairan;
s. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;
t. jenis ikan yang dilarang untuk
diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke
dan dari wilayah Negara Republik Indonesia;
dan
u. jenis ikan yang dilindungi.
(2) Setiap
orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengenai:
a. jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan
ikan;
b. jenis, jumlah, ukuran, dan penempatan alat
bantu penangkapan ikan;
c. daerah, jalur, dan waktu atau musim
penangkapan ikan;
d. persyaratan atau standar prosedur operasional
penangkapan ikan;
e. sistem pemantauan kapal perikanan;
f. jenis ikan baru yang akan dibudidayakan;
g. jenis ikan dan wilayah penebaran kembali serta
penangkapan ikan berbasis budi
daya;
h. pembudidayaan ikan dan perlindungannya;
i. pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya
ikan serta lingkungannya;
j. ukuran atau berat minimum jenis ikan yang
boleh ditangkap;
k. kawasan konservasi perairan;
l. wabah dan wilayah wabah penyakit ikan;
m. jenis ikan yang dilarang
untuk diperdagangkan, dimasukkan, dan dikeluarkan ke
dan dari wilayah Negara Republik Indonesia;
dan
n. jenis ikan yang dilindungi.
(3) Kewajiban mematuhi ketentuan mengenai sistem
pemantauan kapal perikanan
sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf e, tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan
kecil.
(4) Menteri menetapkan potensi dan jumlah
tangkapan yang diperbolehkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan
huruf c setelah mempertimbangkan rekomendasi dari komisi nasional yang mengkaji
sumber daya ikan.
(5)
Komisi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibentuk oleh Menteri dan beranggotakan
para ahli di bidangnya yang berasal dari lembaga terkait.
(6)
Menteri menetapkan jenis ikan yang dilindungi dan kawasan konservasi perairan
untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, pariwisata, dan/atau
kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya.
4.
Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
9
(1)
Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan
dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan
sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan
Negara Republik Indonesia.
(2)
Ketentuan mengenai alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu
dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.
5. Ketentuan Pasal 14 ayat
(3) diubah, sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
14
(1)
Pemerintah mengatur dan/atau mengembangkan pemanfaatan plasma nutfah yang berkaitan
dengan sumber daya ikan dalam rangka pelestarian ekosistem dan pemuliaan sumber
daya ikan.
(2)
Setiap orang wajib melestarikan plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya
ikan.
(3)
Pemerintah mengendalikan pemasukan dan/atau pengeluaran ikan jenis baru dari
dan ke luar negeri dan/atau lalu lintas antarpulau untuk menjamin kelestarian
plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan.
(4)
Setiap orang dilarang merusak plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya
ikan.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan dan pelestarian plasma nutfah
sumber daya ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3),
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
6.
Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 15A, yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
15A
Pemerintah mengatur
pengendalian mutu induk dan benih ikan yang dibudidayakan.
7.
Ketentuan Pasal 18 ditambah 2 (dua) ayat yakni ayat (3) dan ayat (4), sehingga
Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
18
(1)
Pemerintah mengatur dan membina tata pemanfaatan air dan lahan pembudidayaan
ikan.
(2)
Pengaturan dan pembinaan tata pemanfaatan air dan lahan pembudidayaan ikan, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka menjamin kuantitas dan kualitas
air untuk kepentingan pembudidayaan ikan.
(3)
Pelaksanaan tata pemanfaatan air dan lahan pembudidayaan ikan dilakukan oleh pemerintah
daerah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan dan
pembinaan tata pemanfaatan air dan lahan pembudidayaan ikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
8.
Ketentuan Pasal 23 ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (3), sehingga Pasal 23
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
23
(1)
Setiap orang dilarang menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong,
dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam
melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan.
(2)
Pemerintah menetapkan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau
alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3)
Pemerintah melakukan sosialisasi bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong,
dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan.
9. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga Pasal 25
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
25
(1)
Usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan, meliputi
praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai praproduksi, produksi, pengolahan, dan
pemasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
www.hukumonline.c
10.
Di antara Pasal 25 dan Pasal 26 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni Pasal 25A,
Pasal 25B, dan Pasal 25C, yang berbunyi
sebagai berikut:
Pasal
25A
(1)
Pelaku usaha perikanan dalam melaksanakan bisnis perikanan harus memperhatikan standar
mutu hasil perikanan.
(2)
Pemerintah dan pemerintah daerah membina dan memfasilitasi pengembangan usaha perikanan
agar memenuhi standar mutu hasil perikanan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar mutu hasil perikanan diatur dalam
Peraturan Menteri.
Pasal
25B
(1) Pemerintah
berkewajiban menyelenggarakan dan memfasilitasi kegiatan pemasaran usaha
perikanan baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.
(2)
Pengeluaran hasil produksi usaha perikanan ke luar negeri dilakukan apabila
produksi dan pasokan di dalam negeri telah mencukupi kebutuhan konsumsi
nasional.
(3)
Pemerintah berkewajiban menciptakan iklim usaha perikanan yang sehat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal
25C
(1)
Pemerintah membina dan memfasilitasi berkembangnya industri perikanan nasional
dengan mengutamakan
penggunaan bahan baku dan sumber daya manusia dalam negeri.
(2)
Pemerintah membina terselenggaranya kebersamaan dan kemitraan yang sehat antara
industri perikanan, nelayan dan/atau koperasi perikanan.
(3)
Ketentuan mengenai pembinaan, pemberian fasilitas, kebersamaan, dan kemitraan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
11.
Ketentuan Pasal 27 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diubah, serta ditambah 1
(satu) ayat yakni ayat (5), sehingga Pasal 27 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
27
(1)
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera Indonesia yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau laut lepas wajib
memiliki SIPI.
(2)
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib
memiliki SIPI.
(3)
Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia atau mengoperasikan kapal penangkap
ikan berbendera asing di ZEEI wajib membawa SIPI asli.
(4)
Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah
yurisdiksi negara lain harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Pemerintah.
(5)
Kewajiban memiliki SIPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau membawa
SIPI asli sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak berlaku bagi nelayan kecil.
12.
Ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) diubah, serta ditambah 2 (dua) ayat
yakni ayat (3) dan ayat (4), sehingga Pasal 28 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
28
(1)
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan
berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia
wajib memiliki SIKPI.
(2)
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan
berbendera asing yang digunakan untuk melakukan pengangkutan ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib memiliki SIKPI.
(3)
Setiap orang yang mengoperasikan kapal pengangkut ikan di wilayah pengelolaan perikanan
Negara Republik Indonesia wajib membawa SIKPI asli.
(4) Kewajiban memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan/atau membawa SIKPI asli sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil.
13.
Di antara Pasal 28 dan Pasal 29 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 28A, yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
28A
Setiap orang dilarang:
a. memalsukan SIUP, SIPI,
dan SIKPI; dan/atau
b. menggunakan SIUP, SIPI,
dan SIKPI palsu.
14. Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga Pasal 32
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
32
Ketentuan lebih lanjut
mengenai penerbitan, tata cara, dan syarat-syarat pemberian SIUP, SIPI, dan
SIKPI diatur dengan Peraturan Menteri.
15.
Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 35A, yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
35A
(1)
Kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib menggunakan nakhoda dan anak
buah kapal berkewarganegaraan Indonesia.
(2)
Kapal perikanan berbendera asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEEI wajib menggunakan
anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia paling sedikit 70% (tujuh puluh
persen) dari jumlah anak buah kapal.
(3)
Pelanggaran terhadap ketentuan penggunaan anak buah kapal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin, atau
pencabutan izin.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Menteri.
16.
Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga Pasal 36 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
36
(1)
Kapal perikanan milik orang Indonesia yang dioperasikan di wilayah pengelolaan perikanan
Negara Republik Indonesia dan laut lepas wajib didaftarkan terlebih dahulu sebagai
kapal perikanan Indonesia.
(2) Pendaftaran kapal perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan dokumen yang berupa:
a. bukti kepemilikan;
b. identitas pemilik; dan
c. surat ukur.
(3)
Pendaftaran kapal perikanan yang dibeli atau diperoleh dari luar negeri dan
sudahterdaftar di negara asal untuk didaftar sebagai kapal perikanan Indonesia,
selain dilengkapi dengan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
dilengkapi pula dengan surat keterangan penghapusan dari daftar kapal yang
diterbitkan oleh negara asal.
(4) Kapal perikanan yang telah terdaftar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan surat tanda kebangsaan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Menteri.
17.
Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga Pasal 41 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
41
(1) Pemerintah
menyelenggarakan dan melakukan pembinaan pengelolaan pelabuhan perikanan.
(2) Penyelenggaraan
dan pembinaan pengelolaan pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Menteri menetapkan:
a. rencana induk pelabuhan perikanan
secara nasional;
b. klasifikasi pelabuhan
perikanan;
c. pengelolaan pelabuhan
perikanan;
d. persyaratan dan/atau
standar teknis dalam perencanaan, pembangunan,
operasional, pembinaan, dan
pengawasan pelabuhan perikanan;
e. wilayah kerja dan pengoperasian
pelabuhan perikanan yang meliputi bagian
perairan dan daratan
tertentu yang menjadi wilayah kerja dan pengoperasian
pelabuhan perikanan; dan
f. pelabuhan perikanan yang
tidak dibangun oleh Pemerintah.
(3)
Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan tangkapan
di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk.
(4)
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan
dan/atau kapal pengangkut ikan yang tidak melakukan bongkar muat ikan tangkapan
di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa
peringatan, pembekuan izin, atau pencabutan izin.
(5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Menteri.
18.
Di antara Pasal 41 dan Pasal 42 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 41A, yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
41A
(1)
Pelabuhan perikanan mempunyai fungsi pemerintahan dan pengusahaan guna mendukung
kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan
dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan
pemasaran.
(2) Fungsi pelabuhan perikanan dalam mendukung
kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya ikan dan lingkungannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa:
a. pelayanan tambat dan
labuh kapal perikanan;
b. pelayanan bongkar muat;
c. pelayanan pembinaan mutu
dan pengolahan hasil perikanan;
d. pemasaran dan distribusi
ikan;
e. pengumpulan data
tangkapan dan hasil perikanan;
f. tempat pelaksanaan
penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan;
g. pelaksanaan kegiatan
operasional kapal perikanan;
h. tempat pelaksanaan
pengawasan dan pengendalian sumber daya ikan;
i. pelaksanaan kesyahbandaran;
j. tempat pelaksanaan fungsi karantina ikan;
k.
publikasi hasil pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan kapal pengawas kapal
perikanan;
l. tempat publikasi hasil riset kelautan dan
perikanan;
m. pemantauan wilayah
pesisir dan wisata bahari; dan/atau
n. pengendalian lingkungan.
19. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga Pasal 42
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
42
(1)
Dalam rangka keselamatan operasional kapal perikanan, ditunjuk syahbandar di pelabuhan
perikanan.
(2) Syahbandar di pelabuhan perikanan mempunyai
tugas dan wewenang:
a. menerbitkan Surat
Persetujuan Berlayar;
b. mengatur kedatangan dan
keberangkatan kapal perikanan;
c. memeriksa ulang
kelengkapan dokumen kapal perikanan;
d. memeriksa teknis dan
nautis kapal perikanan dan memeriksa alat penangkapan
ikan, dan alat bantu
penangkapan ikan;
e. memeriksa dan mengesahkan
perjanjian kerja laut;
f. memeriksa log book
penangkapan dan pengangkutan ikan;
g. mengatur olah gerak dan
lalulintas kapal perikanan di pelabuhan perikanan;
h. mengawasi pemanduan;
i. mengawasi pengisian bahan
bakar;
j. mengawasi kegiatan
pembangunan fasilitas pelabuhan perikanan;
k. melaksanakan bantuan
pencarian dan penyelamatan;
l. memimpin penanggulangan pencemaran dan
pemadaman kebakaran di pelabuhan perikanan;
m. mengawasi pelaksanaan
perlindungan lingkungan maritim;
n. memeriksa pemenuhan
persyaratan pengawakan kapal perikanan;
o.
menerbitkan Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan dan Keberangkatan Kapal Perikanan;
dan
p. memeriksa sertifikat ikan
hasil tangkapan.
(3)
Setiap kapal perikanan yang akan berlayar melakukan penangkapan ikan dan/atau pengangkutan
ikan dari pelabuhan perikanan wajib memiliki Surat Persetujuan Berlayar yang dikeluarkan
oleh syahbandar di pelabuhan perikanan.
(4)
Syahbandar di pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat
oleh menteri yang membidangi urusan pelayaran.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya, syahbandar di
pelabuhan perikanan dikoordinasikan oleh pejabat yang bertanggung jawab di
pelabuhan perikanan setempat.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kesyahbandaran di pelabuhan perikanan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
20. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga Pasal 43
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
43
Setiap kapal perikanan yang
melakukan kegiatan perikanan wajib memiliki surat laik operasi kapal perikanan
dari pengawas perikanan tanpa dikenai biaya.
21. Ketentuan Pasal 44 ayat (1) diubah, sehingga
Pasal 44 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
44
(1)
Surat Persetujuan Berlayar sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (2) huruf a
dikeluarkan oleh syahbandar setelah kapal perikanan mendapatkan surat laik
operasi.
(2)
Surat laik operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh pengawas
perikanan setelah dipenuhi persyaratan administrasi dan kelayakan teknis.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administrasi dan kelayakan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
22. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga Pasal 46
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
46
(1)
Pemerintah dan pemerintah daerah menyusun dan mengembangkan sistem informasi dan
data statistik perikanan serta menyelenggarakan pengumpulan, pengolahan, analisis,
penyimpanan, penyajian, dan penyebaran data potensi, pemutakhiran data
pergerakan ikan, sarana dan prasarana, produksi, penanganan, pengolahan dan
pemasaran ikan, serta data sosial ekonomi yang berkaitan dengan pelaksanaan
pengelolaan sumber daya ikan dan pengembangan sistem bisnis perikanan.
(2)
Pemerintah dan pemerintah daerah mengadakan pusat data dan informasi perikanan untuk
menyelenggarakan sistem informasi dan data statistik perikanan.
23.
Di antara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 46A, yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
46A
Pemerintah menjamin
kerahasiaan data dan informasi perikanan yang berkaitan dengan data log book
penangkapan dan pengangkutan ikan, data yang diperoleh pengamat, dan data perusahaan
dalam proses perizinan usaha perikanan.
24.
Ketentuan Pasal 48 ayat (1) diubah, serta di antara ayat (1) dan ayat (2)
disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a), sehingga Pasal 48 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal
48
(1)
Setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan dan lingkungannya
di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan di luar wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dikenakan pungutan perikanan.
(1a)
Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan negara
bukan pajak.
(2)
Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan bagi
nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil.
25. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga Pasal 50
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
50
Pungutan perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49 digunakan untuk pembangunan
perikanan serta kegiatan konservasi sumber daya ikan dan lingkungannya.
26. Ketentuan Pasal 65 ayat (1) dihapus sehingga
Pasal 65 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
65
Pemerintah dapat memberikan
tugas kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan tugas pembantuan di
bidang perikanan.
27.
Ketentuan Pasal 66 ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga Pasal 66 berbunyi
sebagai berikut:
Pasal
66
(1) Pengawasan perikanan dilakukan oleh pengawas
perikanan.
(2) Pengawas
perikanan bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perikanan.
(3)
Pengawasan tertib pelaksanaan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) meliputi:
a. kegiatan penangkapan
ikan;
b. pembudidayaan ikan,
perbenihan;
c. pengolahan, distribusi
keluar masuk ikan;
d. mutu hasil perikanan;
e. distribusi keluar masuk
obat ikan;
f. konservasi;
g. pencemaran akibat
perbuatan manusia;
h. plasma nutfah;
i. penelitian dan
pengembangan perikanan; dan
j. ikan hasil rekayasa
genetik.
28.
Di antara Pasal 66 dan Pasal 67 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni Pasal 66A,
Pasal 66B, dan Pasal 66C, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal
66A
(1)
Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 merupakan pegawai negeri
sipil yang bekerja di bidang perikanan yang diangkat oleh menteri atau pejabat
yang ditunjuk.
(2)
Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dididik untuk
menjadi Penyidik Pengawai Negeri Sipil Perikanan.
(3) Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat ditetapkan sebagai pejabat fungsional pengawas perikanan.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai jabatan fungsional pengawas perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal
66B
(1) Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 66 melaksanakan tugas di:
a. wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia;
b. kapal perikanan;
c. pelabuhan perikanan
dan/atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk;
d. pelabuhan tangkahan;
e. sentra kegiatan
perikanan;
f. area pembenihan ikan;
g. area pembudidayaan ikan;
h. unit pengolahan ikan;
dan/atau
i. kawasan konservasi
perairan.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas pengawas perikanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal
66C
(1)
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, pengawas perikanan
berwenang:
a. memasuki dan memeriksa
tempat kegiatan usaha perikanan;
b. memeriksa kelengkapan dan
keabsahan dokumen usaha perikanan;
c. memeriksa kegiatan usaha
perikanan;
d. memeriksa sarana dan
prasarana yang digunakan untuk kegiatan perikanan;
e. memverifikasi kelengkapan
dan keabsahan SIPI dan SIKPI;
f. mendokumentasikan hasil
pemeriksaan;
g. mengambil contoh ikan dan/atau bahan yang diperlukan untuk
keperluan pengujian laboratorium;
h. memeriksa peralatan dan
keaktifan sistem pemantauan kapal perikanan;
i.
menghentikan, memeriksa, membawa, menahan, dan menangkap kapal dan/atau orang
yang diduga atau patut diduga melakukan tindak pidana perikanan di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia sampai dengan diserahkannya kapal dan/atau
orang tersebut di pelabuhan tempat perkara tersebut dapat diproses lebih lanjut
oleh penyidik;
j.
menyampaikan rekomendasi kepada pemberi izin untuk memberikan sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
k.
melakukan tindakan khusus terhadap kapal perikanan yang berusaha melarikan diri
dan/atau melawan dan/atau membahayakan keselamatan kapal pengawas perikanan
dan/atau awak kapal perikanan; dan/atau
l. mengadakan tindakan lain
menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2)
Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan tugasnya
dapat dilengkapi dengan kapal pengawas perikanan, senjata api, dan/atau alat pengaman
diri.
29.
Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga Pasal 69 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
69
(1)
Kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di
bidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
(2)
Kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilengkapi dengan
senjata api.
(3)
Kapal pengawas perikanan dapat menghentikan, memeriksa, membawa, dan menahan kapal
yang diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran di wilayah pengelolaan perikanan
Negara Republik Indonesia ke pelabuhan terdekat untuk pemrosesan lebih lanjut.
(4)
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dan/atau pengawas
perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman
kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
30.
Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga Pasal 71 berbunyi sebagai berikut:
Pasal
71
(1) Dengan
Undang-Undang ini dibentuk pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili,
dan memutus tindak pidana di bidang perikanan.
(2)
Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengadilan khusus
yang berada dalam lingkungan peradilan umum.
(3)
Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dibentuk di
Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual.
(4)
Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di
pengadilan negeri.
(5)
Pembentukan pengadilan perikanan selanjutnya dilakukan secara bertahap sesuai dengan
kebutuhan yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
31.
Di antara Pasal 71 dan Pasal 72 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 71A, yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
71A
Pengadilan perikanan
berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tindak
pidana di bidang perikanan
yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, baik
yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing.
32. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga Pasal 73
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
73
(1)
Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan di wilayah pengelolaan perikanan
Negara Republik Indonesia dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan,
Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
(2)
Selain penyidik TNI AL, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan berwenang
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di
ZEEI.
(3)
Penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di pelabuhan
perikanan, diutamakan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan.
(4)
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan koordinasi dalam penanganan
penyidikan tindak pidana di bidang perikanan.
(5)
Untuk melakukan koordinasi dalam penanganan tindak pidana di bidang perikanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), Menteri membentuk forum koordinasi.
33.
Di antara Pasal 73 dan Pasal 74 disisipkan 2 (dua) pasal yakni Pasal 73A dan
Pasal 73B, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal
73A
Penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73 berwenang:
a.
menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang
perikanan;
b.memanggil
dan memeriksa tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya;
c.
membawa dan menghadapkan seseorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk
didengar keterangannya;
d.
menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga digunakan dalam atau menjadi
tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan;
e.
menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau orang
yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan;
f.
memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan;
g.
memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan;
h.
mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di
bidang perikanan;
i. membuat dan
menandatangani berita acara pemeriksaan;
j.
melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana;
k. melakukan penghentian
penyidikan; dan
l. mengadakan tindakan lain
yang menurut hukum dapat dipertanggungjawabkan.
Pasal
73B
(1)
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 memberitahukan dimulainya
penyidikan kepada penuntut umum paling lama 7 (tujuh) hari sejak ditemukan
adanya tindak pidana di bidang perikanan.
(2)
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat menahan tersangka paling lama 20
(dua puluh) hari.
(3)
Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan yang belum selesai,
dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama 10 (sepuluh) hari.
(4)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak menutup kemungkinan
tersangka dikeluarkan dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut,
jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(5)
Setelah waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka
dari tahanan demi hukum.
(6)
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73A menyampaikan hasil penyidikan ke penuntut
umum paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pemberitahuan dimulainya penyidikan.
34. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga Pasal 75
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
75
(1)
Penuntutan terhadap tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh penuntut
umum yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
(2)
Penuntut umum perkara tindak pidana di bidang perikanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berpengalaman menjadi
penuntut umum sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun;
b. telah mengikuti
pendidikan dan pelatihan teknis di bidang perikanan; dan
c. cakap dan memiliki
integritas moral yang tinggi selama menjalankan tugasnya.
35.
Ketentuan Pasal 76 ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (9), sehingga Pasal 76
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
76
(1) Penuntut
umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik wajib memberitahukan hasil
penelitiannya kepada penyidik dalam waktu 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal
diterimanya berkas penyidikan.
(2)
Dalam hal hasil penyidikan yang disampaikan tidak lengkap, penuntut umum harus mengembalikan
berkas perkara kepada penyidik yang disertai dengan petunjuk tentang hal-hal
yang harus dilengkapi.
(3)
Dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan
berkas, penyidik harus menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada
penuntut umum.
(4)
Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 5 (lima) hari penuntut
umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu
tersebut berakhir sudah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum
kepada penyidik.
(5)
Dalam hal penuntut umum menyatakan hasil penyidikan tersebut lengkap dalam
waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan berkas
dari penyidik dinyatakan lengkap, penuntut umum harus melimpahkan perkara
tersebut kepada pengadilan perikanan.
(6)
Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan
lanjutan selama 10 (sepuluh) hari.
(7)
Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), apabila diperlukan guna kepentingan
pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri
yang berwenang paling lama 10 (sepuluh) hari.
(8)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) tidak menutup kemungkinan
tersangka dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka waktu penahanan berakhir jika
kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(9) Penuntut umum menyampaikan berkas perkara
kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak tanggal penerimaan berkas dari penyidik dinyatakan lengkap.
36.
Di antara Bagian Kedua dan Bagian Ketiga disisipkan 1(satu) bagian yakni Bagian
Kedua A, yang berbunyi sebagai berikut:
Bagian
Kedua A
Barang
Bukti
Pasal
76A
Benda dan/atau alat yang
digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana
perikanan dapat dirampas
untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan
negeri.
Pasal
76B
(1) Barang
bukti hasil tindak pidana perikanan yang mudah rusak atau memerlukan biaya perawatan
yang tinggi dapat dilelang dengan persetujuan ketua pengadilan negeri.
(2)
Barang bukti hasil tindak pidana perikanan yang mudah rusak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berupa jenis ikan terlebih dahulu disisihkan sebagian
untuk kepentingan pembuktian di pengadilan.
Pasal
76C
(1)
Benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76A dapat dilelang untuk negara.
(2)
Pelaksanaan lelang dilakukan oleh badan lelang negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3)
Uang hasil pelelangan dari hasil penyitaan tindak pidana perikanan disetor ke
kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak.
(4)
Aparat penegak hukum di bidang perikanan yang berhasil menjalankan tugasnya
dengan baik dan pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan negara
diberi penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5)
Benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan yang
berupa kapal perikanan dapat diserahkan kepada kelompok usaha bersama nelayan
dan/atau koperasi perikanan.
(6)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
37.
Di antara Pasal 78 dan Pasal 79 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 78A, yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
78A
(1)
Setiap pengadilan negeri yang telah ada pengadilan perikanan, dibentuk
subkepaniteraan pengadilan perikanan yang dipimpin oleh seorang panitera muda.
(2)
Dalam melaksanakan tugasnya, panitera muda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu
oleh beberapa orang panitera pengganti.
(3)
Panitera muda dan panitera pengganti pengadilan perikanan berasal dari
lingkungan pengadilan negeri.
(4)
Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pengangkatan, dan pemberhentian
panitera muda dan panitera pengganti pengadilan perikanan serta susunan
organisasi, tugas, dan tata kerja subkepaniteraan pengadilan perikanan diatur
dengan peraturan Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
38.
Di antara Pasal 83 dan Pasal 84 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 83A, yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
83A
(1)
Selain yang ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana perikanan atau
tindak pidana lainnya, awak kapal lainnya dapat dipulangkan termasuk yang berkewarganegaraan
asing.
(2)
Pemulangan awak kapal berkewarganegaraan asing sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilakukan oleh instansi
yang bertanggung jawab di bidang keimigrasian melalui kedutaan atau perwakilan
negara asal awak kapal.
(3)
Ketentuan mengenai pemulangan awak kapal berkewarganegaraan asing sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
39. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga Pasal 85
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
85
Setiap orang yang dengan
sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan
dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan
sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).
40. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga Pasal 93
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
93
(1)
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki
SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah).
(2)
Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan
berbendera asing melakukan penangkapan ikan di ZEEI yang tidak memiliki SIPI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh
miliar rupiah).
(3)
Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, yang tidak membawa SIPI asli
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(4)
Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di ZEEI,
yang tidak membawa SIPI asli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
banyak Rp. 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
41.
Di antara Pasal 94 dan Pasal 95 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 94A, yang
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
94A
Setiap orang yang memalsukan
dan/atau menggunakan SIUP, SIPI, dan SIKPI palsu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28A dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda
paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
42. Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga Pasal 98
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
98
Nakhoda kapal perikanan yang
tidak memiliki surat persetujuan berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
43.
Di antara Pasal 100 dan Pasal 101 disisipkan 4 (empat) pasal yakni Pasal 100A,
Pasal 100B, Pasal 100C, dan Pasal 100D, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal
100A
Dalam hal tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28A, pemalsuan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 35 ayat (1), dan pemalsuan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36 yang melibatkan pejabat, pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman
pidana pokok.
Pasal
100B
Dalam hal tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 12, Pasal 14 ayat (4), Pasal
16 ayat (1), Pasal 20 ayat (3), Pasal 21, Pasal 23 ayat (1), Pasal 26 ayat (1),
Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28 ayat (3),
Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), Pasal 38, Pasal 42 ayat (3), atau Pasal
55 ayat (1) yang dilakukan oleh nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal
100C
Dalam hal tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dilakukan oleh nelayan kecil
dan/atau pembudi daya-ikan kecil dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal
100D
Dalam hal pengadilan
menjatuhkan pidana denda, maka denda dimaksud wajib disetorkan ke kas negara
sebagai penerimaan negara bukan pajak kementerian yang membidangi urusan perikanan.
44. Ketentuan Pasal 105 dihapus.
45. Ketentuan Pasal 110 diubah sehingga Pasal 110
berbunyi sebagai berikut:
Pasal
110
Pada saat Undang-Undang ini
mulai berlaku:
a.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3299);
dan
b.
Ketentuan mengenai penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 dan ketentuan mengenai
pidana denda dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983
Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3260) khususnya
yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perikanan; dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
46.
Di antara Pasal 110 dan Pasal 111 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 110A,
yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal
110A
Semua Peraturan Pemerintah
yang diamanatkan untuk melaksanakan ketentuan Undang-
Undang ini harus ditetapkan
paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
PASAL
II
Undang-Undang ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 29 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 29 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 154
www.hukumonline.com
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
45 TAHUN 2009
TENTANG
PERUBAHAN
ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN
I. UMUM
Indonesia sebagai sebuah
negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari laut, memiliki
potensi perikanan yang sangat besar dan beragam.
Potensi perikanan yang
dimiliki merupakan potensi ekonomi yang dapat dimanfaatkan untuk masa depan
bangsa, sebagai tulang punggung pembangunan nasional. Pemanfaatan secara optimal
diarahkan pada pendayagunaan sumber daya ikan dengan memperhatikan daya dukung
yang ada dan kelestariannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,
meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil,
meningkatkan penerimaan dari devisa negara, menyediakan perluasan dan
kesempatan kerja, meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing hasil
perikanan serta menjamin kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan ikan
serta tata ruang. Hal ini berarti bahwa pemanfaatan sumber daya perikanan harus
seimbang dengan daya dukungnya, sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat
secara terus menerus. Salah satunya dilakukan dengan pengendalian usaha
perikanan melalui pengaturan pengelolaan perikanan.
Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa mengenai Hukum Laut Tahun 1982 yang telah
diratifikasi dengan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention
on the Law of the Sea 1982, menempatkan Indonesia memiliki hak berdaulat (sovereign
rights) untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan
di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, dan Laut Lepas yang dilaksanakan berdasarkan
persyaratan atau standar internasional yang berlaku.
Oleh karena itu, dibutuhkan
dasar hukum pengelolaan sumber daya ikan yang mampu menampung semua aspek
pengelolaan sumber daya ikan dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum
dan teknologi. Kehadiran Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
diharapkan dapat mengantisipasi sekaligus sebagai solusi terhadap perubahan
yang sangat besar di bidang perikanan, baik yang berkaitan dengan ketersediaan
sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan
metode pengelolaan perikanan yang semakin efektif, efisien, dan modern.
Di sisi lain, terdapat beberapa
isu dalam pembangunan perikanan yang perlu mendapatkan perhatian dari semua
pihak, baik pemerintah, masyarakat maupun pihak lain yang terkait dengan
pembangunan perikanan. Isu-isu tersebut diantaranya adanya gejala penangkapan
ikan yang berlebih, pencurian ikan, dan tindakan illegal fishing lainnya yang
tidak hanya menimbulkan kerugian bagi negara, tetapi juga mengancam kepentingan
nelayan dan pembudi daya-ikan, iklim industri, dan usaha perikanan nasional.
Permasalahan tersebut harus diselesaikan dengan sungguh-sungguh, sehingga
penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam
rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan berkelanjutan.
Adanya kepastian hukum merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan dalam
penanganan tindak pidana di bidang perikanan.
Namun pada kenyataannya,
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan saat ini masih belum mampu
mengantisipasi perkembangan teknologi serta perkembangan kebutuhan hukum dalam
rangka pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya ikan dan belum dapat menjawab
permasalahan tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan perubahan terhadap beberapa
substansi, baik menyangkut aspek manajemen, birokrasi, maupun aspek hukum.
Kelemahan pada aspek
manajemen pengelolaan perikanan antara lain belum terdapatnya mekanisme
koordinasi antarinstansi yang terkait dengan pengelolaan perikanan. Sedangkan pada
aspek birokrasi, antara lain terjadinya benturan kepentingan dalam pengelolaan
perikanan.
Kelemahan pada aspek hukum
antara lain masalah penegakan hukum, rumusan sanksi, dan yurisdiksi atau
kompetensi relatif pengadilan negeri terhadap tindak pidana di bidang perikanan
yang terjadi di luar kewenangan pengadilan negeri tersebut.
Melihat beberapa kelemahan
yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan di atas,
maka dirasa perlu untuk melakukan perubahan terhadap Undang-
Undang tersebut, yang
meliputi:
Pertama, mengenai pengawasan
dan penegakan hukum menyangkut masalah mekanisme koordinasi antarinstansi
penyidik dalam penanganan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan,
penerapan sanksi (pidana atau denda), hukum acara, terutama mengenai penentuan batas
waktu pemeriksaan perkara, dan fasilitas dalam penegakan hukum di bidang
perikanan, termasuk kemungkinan penerapan tindakan hukum berupa penenggelaman
kapal asing yang beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia.
Kedua, masalah pengelolaan
perikanan antara lain kepelabuhanan perikanan, konservasi, perizinan, dan kesyahbandaran.
Ketiga, diperlukan perluasan
yurisdiksi pengadilan perikanan sehingga mencakup seluruh wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia.
Di samping itu perubahan
terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan juga mengarah pada
keberpihakan kepada nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil antara lain dalam
aspek perizinan, kewajiban penerapan ketentuan mengenai sistem pemantauan kapal
perikanan, pungutan perikanan, dan pengenaan sanksi pidana.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal
I
Angka 1
Pasal
1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal
2
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”asas
manfaat” adalah asas yang menunjukkan bahwa pengelolaan perikanan harus mampu
memberikan keuntungan dan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”asas
keadilan” adalah pengelolaan perikanan harus mampu memberikan peluang dan
kesempatan yang sama secara proporsional bagi seluruh warga negara tanpa
kecuali.
Huruf c
Yang dimaksud dengan ”asas
kebersamaan” adalah pengelolaan perikanan mampu melibatkanm seluruh pemangku
kepentingan agar tercapai kesejahteraan masyarakat perikanan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan ”asas
kemitraan” adalah pengelolaan perikanan dilakukan dengan pendekatan kekuatan
jejaring pelaku usaha dan sumber daya yang mempertimbangkan aspek kesetaraan
dalam berusaha secara proporsional.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas
kemandirian” adalah pengelolaan perikanan dilakukan dengan mengoptimalkan
potensi perikanan yang ada.
Huruf f
Yang dimaksud dengan ”asas
pemerataan” adalah pengelolaan perikanan dilakukan secara seimbang dan merata,
dengan memperhatikan nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil.
Huruf g
Yang dimaksud dengan ”asas
keterpaduan” adalah pengelolaan perikanan dilakukan secara terpadu dari hulu
sampai hilir dalam upaya meningkatkan efisiensi dan produktivitas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan ”asas
keterbukaan” adalah pengelolaan perikanan dilakukan dengan memperhatikan
aspirasi masyarakat dan didukung dengan ketersediaan informasi yang dapat diakses
oleh masyarakat.
Huruf i
Yang dimaksud dengan ”asas
efisiensi” adalah pengelolaan perikanan dilakukan dengan tepat, cermat, dan
berdaya guna untuk memperoleh hasil yang maksimal.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “asas
kelestarian” adalah pengelolaan perikanan dilakukan seoptimal mungkin dengan
tetap memperhatikan aspek kelestarian sumber daya ikan.
Huruf k
Yang dimaksud dengan ”asas
pembangunan yang berkelanjutan” adalah pengelolaan perikanan dilakukan secara
terencana dan mampu meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat dengan
mengutamakan kelestarian fungsi lingkungan hidup untuk masa kini dan masa yang akan
datang.
Angka 3
Pasal
7
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Yang dimaksud dengan “sistem
pemantauan kapal perikanan” adalah salah satu bentuk sistem pengawasan di
bidang penangkapan ikan dengan menggunakan peralatan pemantauan kapal perikanan
yang telah ditentukan, seperti sistem pemantauan kapal perikanan (vessel
monitoring system/VMS).
Huruf l
Dalam usaha meningkatkan
produktivitas suatu perairan dapat dilakukan penebaran ikan jenis baru, yang
kemungkinan menimbulkan efek negatif bagi kelestarian sumber daya ikan setempat
sehingga perlu dipertimbangkan agar penebaran ikan jenis baru dapat beradaptasi
dengan lingkungan sumber daya ikan setempat dan/atau tidak merusak keaslian
sumber daya ikan.
Huruf m
Yang dimaksud dengan
“penangkapan ikan berbasis budi daya” adalah penangkapan sumber daya ikan yang
berkembang biak dari hasil penebaran kembali.
Huruf n
Sesuai dengan perkembangan
teknologi, pembudidayaan ikan tidak lagi terbatas di kolam atau tambak, tetapi
dilakukan pula di sungai, danau, dan laut. Karena perairan ini menyangkut
kepentingan umum, perlu adanya penetapan lokasi dan luas daerah serta cara yang
dipergunakan agar tidak mengganggu kepentingan umum. Di samping itu, perlu
ditetapkan ketentuan yang bertujuan melindungi pembudidayaan tersebut,
misalnya, pencemaran lingkungan sumber daya ikan.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Ada beberapa cara yang dapat
ditempuh dalam melaksanakan rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan dan
lingkungannya, antara lain, dengan penanaman atau reboisasi hutan bakau,
pemasangan terumbu karang buatan, pembuatan tempat berlindung atau berkembang
biak ikan, peningkatan kesuburan perairan dengan jalan pemupukan atau
penambahan jenis makanan, pembuatan saluran ruaya ikan, atau pengerukan dasar
perairan.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Yang dimaksud dengan
“kawasan konservasi perairan” adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola
dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan
lingkungannya secara berkelanjutan.
Huruf s
Penetapan wabah dan wilayah
wabah penyakit ikan bertujuan agar masyarakat mengetahui bahwa dalam wilayah
tersebut terjangkit wabah, dan ditetapkan langkah pencegahan terjadinya
penyebaran wabah penyakit ikan dari satu wilayah ke wilayah lainnya.
Huruf t
Cukup jelas.
Huruf u
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “para
ahli” adalah terdiri dari pakar, akademisi, dan pejabat instansi pemerintah
terkait yang mempunyai keahlian di bidang sumber daya ikan.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “jenis
ikan” adalah:
a. ikan
bersirip (pisces);
b. udang, rajungan, kepiting, dan sebangsanya
(crustacea);
c. kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput, dan
sebangsanya (mollusca);
d. ubur-ubur
dan sebangsanya (coelenterata);
e. tripang, bulu babi, dan sebangsanya
(echinodermata);
f. kodok
dan sebangsanya (amphibia);
g. buaya,
penyu, kura-kura, biawak, ular air, dan sebangsanya (reptilia);
h. paus, lumba-lumba, pesut, duyung, dan
sebangsanya (mammalia);
i. rumput laut dan tumbuh-tumbuhan lain yang
hidupnya di dalam air (algae); dan
j. biota perairan lainnya yang ada kaitannya
dengan jenis-jenis tersebut di atas;
semuanya termasuk bagian-bagiannya dan
ikan yang dilindungi.
Angka 4
Pasal
9
Alat penangkapan ikan
dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan
sumber daya ikan termasuk diantaranya jaring trawl atau pukat harimau, dan/atau
kompressor.
Angka 5
Pasal
14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “plasma
nutfah” adalah substansi yang terdapat dalam kelompok makhluk hidup dan
merupakan sumber atau sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan
atau dirakit untuk menciptakan jenis unggul baru, untuk melindungi plasma nutfah
yang ada agar tidak hilang, punah, atau rusak, disamping juga sebagai bentuk perlindungan
ekosistem yang ada.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “ikan
jenis baru” adalah ikan yang bukan asli dan/atau tidak berasal dari alam darat
dan laut Indonesia yang dikenali dan/atau diketahui dimasukkan ke dalam wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia maupun ikan yang berasal dari
hasil pemuliaan, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal
15A
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal
18
Ayat (1)
Tata pemanfaatan air dan
lahan pembudidayaan ikan dimaksudkan agar distribusi dan pemanfaatan air dapat
dilakukan secara maksimal, sesuai dengan kebutuhan teknis pembudidayaan ikan
serta dapat dihindari penggunaan lahan yang dapat merugikan pembudidayaan ikan,
termasuk ketersediaan sabuk hijau (greenbelt).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal
23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kewajiban menyosialisasikan
bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang
membahayakan, termasuk juga bahan atau alat yang diizinkan.
Angka 9
Pasal
25
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal
25A
Cukup jelas.
Pasal
25B
Cukup jelas.
Pasal
25C
Ayat (1)
Industri perikanan
diantaranya meliputi industri yang bergerak di bidang penyediaan sarana dan prasarana
penangkapan serta industri pengolahan perikanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal
27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “SIPI
asli” adalah SIPI yang bukan fotocopy dan/atau salinan yang mirip dengan
aslinya, atau yang dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang. Yang dimaksud
dengan “membawa SIPI asli” adalah keharusan bagi setiap orang untuk meletakkan
dan/atau menyimpan SIPI asli di atas kapal penangkap ikan yang sedang dioperasikan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal
28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “SIKPI asli“
adalah SIKPI yang bukan fotocopy dan/atau salinan yang mirip dengan aslinya,
atau yang dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang. Yang dimaksud dengan
“membawa SIKPI asli” adalah keharusan bagi setiap orang untuk meletakkan
dan/atau menyimpan SIKPI asli di atas kapal pengangkut ikan yang sedang dioperasikan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal
28A
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal
32
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal
35A
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal
36
Ayat (1)
Pendaftaran kapal perikanan
dimuat di dalam buku yang dipergunakan untuk memenuhi persyaratan penerbitan
SIPI atau SIKPI. Buku kapal perikanan dimaksud bukan sebagai grosse akte
pendaftaran kapal yang merupakan persyaratan untuk menerbitkan Surat Tanda Kebangsaan
Kapal Indonesia bagi kapal yang mengibarkan bendera Indonesia sebagai bendera kebangsaan.
Ayat (2)
Pendaftaran kapal perikanan
dilengkapi dengan dokumen, antara lain memuat Nama Kapal, Nomor Register, Tanda
penghubung radio, Dimana kapal dibuat, Tipe kapal, Metode dan tipe alat
tangkap, Tonage, Panjang, Dalam, kekuatan mesin, Gambar kapal, Nama dan alamat pemilik,
Nama perusahaan yang menggunakan kapal, dan Sejarah pemilikan yang dimuat dalam
buku kapal perikanan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kapal perikanan yang akan
diproses penerbitan surat tanda kebangsaan terlebih dahulu didaftarkan di dalam
buku kapal perikanan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal
41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Klasifikasi pelabuhan
perikanan termasuk diantaranya pelabuhan perikanan samudera, pelabuhan-pelabuhan
perikanan nusantara dan pelabuhan perikanan pantai.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Untuk mendukung dan menjamin
kelancaran operasional pelabuhan perikanan, ditetapkan batas-batas wilayah
kerja dan pengoperasian dalam koordinat geografis. Dalam hal wilayah kerja dan
pengoperasian pelabuhan perikanan berbatasan dan/atau mempunyai kesamaan
kepentingan dengan instansi lain, penetapan batasnya dilakukan melalui
koordinasi dengan instansi yang bersangkutan.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan
“bongkar muat ikan” adalah termasuk juga pendaratan ikan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal
41A
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal
42
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
”syahbandar di pelabuhan perikanan” adalah syahbandar yang ditempatkan secara
khusus di pelabuhan perikanan untuk pengurusan administratif dan menjalankan
fungsi menjaga keselamatan pelayaran.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “log
book” adalah laporan harian tertulis nakhoda mengenai kegiatan penangkapan ikan
atau pengangkutan ikan.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Syahbandar yang akan
diangkat dimaksudkan pengusulannya terlebih dahulu dikoordinasikan dengan
Menteri.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal
43
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal
44
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal
46
Ayat (1)
Dalam rangka penyusunan
rencana pengembangan sistem informasi dan data statistik perikanan serta kemajuannya,
disusun data teknik, produksi, pengolahan, pemasaran ikan, dan sosial ekonomi
yang dapat memberikan gambaran yang benar tentang tingkat pemanfaatan sumber
daya ikan yang tersedia.
Data dan informasi tersebut
antara lain:
a. jenis, jumlah, dan ukuran kapal perikanan;
b. jenis,
jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan;
c. daerah
dan musim penangkapan;
d. jumlah
tangkapan atau jumlah hasil pembudidayaan ikan;
e. luas
lahan dan daerah pembudidayaan ikan;
f. jumlah
nelayan dan pembudi daya ikan;
g. jenis ikan yang ada;
h. ukuran ikan hasil tangkapan dan musim
pemijahan ikan;
i. data
ekspor dan impor komoditas perikanan; dan
j. informasi mengenai persyaratan tertentu yang
berkaitan dengan standar ekspor.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal
46A
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal
48
Ayat (1)
Kepada setiap orang yang
berusaha di bidang penangkapan atau pembudidayaan ikan yang dilakukan di laut
atau di perairan lainnya di dalam maupun di luar wilayah pengelolaan perikanan
Negara Republik Indonesia dikenakan pungutan perikanan karena mereka telah memperoleh
manfaat langsung dari sumber daya ikan dan/atau lingkungannya.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal
50
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal
65
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal
66
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal
66A
Cukup jelas.
Pasal
66B
Cukup jelas.
Pasal
66C
Cukup jelas.
www.hukumonline.com
Angka 29
Pasal
69
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kapal
pengawas perikanan” adalah kapal pemerintah yang diberi tanda tertentu untuk melakukan
pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penahanan kapal dilakukan
dalam rangka tindakan membawa kapal ke pelabuhan terdekat dan/atau menunggu
proses selanjutnya yang bersifat sementara.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “bukti
permulaan yang cukup” adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana
di bidang perikanan oleh kapal perikanan berbendera asing, misalnya kapal
perikanan berbendera asing tidak memiliki SIPI dan SIKPI, serta nyata-nyata
menangkap dan/atau mengangkut ikan ketika memasuki wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia.
Ketentuan ini menunjukkan
bahwa tindakan khusus tersebut tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang,
tetapi hanya dilakukan apabila penyidik dan/atau pengawas perikanan yakin bahwa
kapal perikanan berbendera asing tersebut betul-betul melakukan tindak pidana
di bidang perikanan.
Angka 30
Pasal
71
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal
71A
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal
73
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyidikan yang dilakukan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan bersifat koordinatif dengan Penyidik
Perwira TNI Angkatan Laut agar penyidikan tersebut berjalan lebih efisien dan
efektif berdasarkan Prosedur Tetap Bersama.
Ayat (3)
Cukup jelas.
www.hukumonline.com
Ayat (4)
Koordinasi diperlukan selain
untuk kelancaran pelaksanaan tugas penyidik, juga dimaksudkan untuk
memperlancar komunikasi dan tukar-menukar data, informasi, serta hal lain yang diperlukan
dalam rangka efektivitas dan efisiensi penanganan dan/atau penyelesaian tindak pidana
perikanan.
Ayat (5)
Forum koordinasi untuk
penanganan tindak pidana di bidang perikanan dalam ketentuan ini dimungkinkan
pembentukannya di daerah, sesuai dengan kebutuhan.
Angka 33
Pasal
73A
Cukup jelas.
Pasal
73B
Cukup jelas.
Angka 34
Pasal
75
Ayat (1)
Pada dasarnya penunjukan
penuntut umum merupakan kewenangan Jaksa Agung. Namun demikian, atas nama Jaksa
Agung dimungkinkan didelegasikan atau dilimpahkan kepada pejabat di lingkungan
Kejaksaan Agung Republik Indonesia sesuai dengan kompetensinya, mengingat
jumlah perkara yang harus ditangani cukup tinggi dan tersebar di seluruh
wilayah Negara Republik Indonesia serta mempertimbangkan kesibukan dan
intensitas Jaksa Agung.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 35
Pasal
76
Cukup jelas.
Angka 36
Pasal
76A
Cukup jelas.
Pasal
76 B
Cukup jelas.
www.hukumonline.com
Pasal
76 C
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan
“penghargaan” antara lain berupa insentif, piagam, dan kenaikan pangkat.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 37
Pasal
78A
Cukup jelas.
Angka 38
Pasal
83A
Cukup jelas.
Angka 39
Pasal
85
Cukup jelas.
Angka 40
Pasal
93
Cukup jelas.
Angka 41
Pasal
94A
Cukup jelas.
Angka 42
www.hukumonline.com
Pasal
98
Cukup jelas.
Angka 43
Pasal
100A
Cukup jelas.
Pasal
100B
Cukup jelas.
Pasal
100C
Cukup jelas.
Pasal
100D
Cukup jelas.
Angka 44
Cukup jelas.
Angka 45
Pasal
110
Cukup jelas.
Angka 46
Pasal
110A
Cukup jelas.
Pasal
II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5073
KATA TENTANG
“BUDI DAY”
Ø Pembudidayaan
ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan/atau membiakkan ikan
serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol, termasuk kegiatan yang
menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani,
mengolah, dan/atau mengawetkannya.
Ø Pembudi Daya
Ikan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan.
Ø Pembudi Daya-Ikan
Kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Ø Pemerintah
mengatur pengendalian mutu induk dan benih ikan yang dibudidayakan.
Ø Pemerintah
mengatur dan membina tata pemanfaatan air dan lahan pembudidayaan ikan.
Ø Pelaksanaan
tata pemanfaatan air dan lahan pembudidayaan
ikan dilakukan oleh pemerintah daerah.
Ø Kewajiban
memiliki SIKPI sebagaimana dimaksud, tidak berlaku bagi nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil.
Ø Pungutan
perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan bagi nelayan kecil
dan pembudi daya-ikan kecil.
Ø Pengawas
perikanan bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perikanan, meliputi; pembudidayaan ikan.
Ø Dalam
hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 12, Pasal
14 ayat (4), Pasal 16 ayat (1), Pasal 20 ayat (3), Pasal 21, Pasal 23 ayat (1),
Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (1),
Pasal 28 ayat (3), Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), Pasal 38, Pasal 42
ayat (3), atau Pasal 55 ayat (1) yang dilakukan oleh nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Ø Dalam
hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dilakukan oleh
nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan
kecil dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
Ø Pemanfaatan
secara optimal diarahkan pada pendayagunaan sumber daya ikan dengan
memperhatikan daya dukung yang ada dan kelestariannya untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat, meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil, meningkatkan penerimaan
dari devisa negara, menyediakan perluasan dan kesempatan kerja, meningkatkan
produktivitas, nilai tambah dan daya saing hasil perikanan serta menjamin
kelestarian sumber daya ikan, lahan pembudidayaan
ikan serta tata ruang.
Ø Perubahan
terhadap Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan juga mengarah pada
keberpihakan kepada nelayan kecil dan pembudi
daya-ikan kecil antara lain dalam aspek perizinan, kewajiban penerapan
ketentuan mengenai sistem pemantauan kapal perikanan, pungutan perikanan, dan
pengenaan sanksi pidana.
Ø Yang
dimaksud dengan ”asas pemerataan” adalah pengelolaan perikanan dilakukan secara
seimbang dan merata, dengan memperhatikan nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil.
Ø Yang
dimaksud dengan “penangkapan ikan berbasis budi
daya” adalah penangkapan sumber daya ikan yang berkembang biak dari hasil
penebaran kembali.
Ø Sesuai
dengan perkembangan teknologi, pembudidayaan
ikan tidak lagi terbatas di kolam atau tambak, tetapi dilakukan pula di sungai,
danau, dan laut. Karena perairan ini menyangkut kepentingan umum, perlu adanya
penetapan lokasi dan luas daerah serta cara yang dipergunakan agar tidak
mengganggu kepentingan umum. Di samping itu, perlu ditetapkan ketentuan yang
bertujuan melindungi pembudidayaan
tersebut, misalnya, pencemaran lingkungan sumber daya ikan.
Ø Tata
pemanfaatan air dan lahan pembudidayaan
ikan dimaksudkan agar distribusi dan pemanfaatan air dapat dilakukan secara
maksimal, sesuai dengan kebutuhan teknis pembudidayaan
ikan serta dapat dihindari penggunaan lahan yang dapat merugikan pembudidayaan ikan, termasuk
ketersediaan sabuk hijau (greenbelt).
Ø Dalam
rangka penyusunan rencana pengembangan sistem informasi dan data statistik
perikanan serta kemajuannya, disusun data teknik, produksi, pengolahan,
pemasaran ikan, dan sosial ekonomi yang dapat memberikan gambaran yang benar
tentang tingkat pemanfaatan sumber daya ikan yang tersedia.
Data dan informasi tersebut antara lain:
a. jumlah tangkapan atau
jumlah hasil pembudidayaan ikan;
b. luas lahan dan daerah pembudidayaan ikan;
c. jumlah nelayan dan pembudi daya ikan;
Ø Kepada
setiap orang yang berusaha di bidang penangkapan atau pembudidayaan ikan yang dilakukan di laut atau di perairan lainnya
di dalam maupun di luar wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia
dikenakan pungutan perikanan karena mereka telah memperoleh manfaat langsung
dari sumber daya ikan dan/atau lingkungannya.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.hukumonline.com......UU_NO_45_2009.PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar